Thursday, April 19, 2012

Cerpen: Semua Bisa Terjadi


Semua Bisa Terjadi

Siang itu cuaca sangat panas, ku berada dalam sebuah ruangan bersama 40 murid ialah teman- temanku, dan seorang guru fisika kelas 3 SMA. Beliau menerangkan sebuah materi yang tak ku mengerti. Apa mungkin karena aku yang tak cukup pintar?, apa guruku yang tak cukup tuk dapat menjelaskan pada murid- muridnya?, Atau mungkin karena faktor cuaca yang sangat panas?.
Sungguh saat itu aku ingin cepat pulang kerumah. Beberapa menit kemudian. Terdengar suara kebebasan, ialah bel pulang sekolah yang membuatku merasakan semangat mendadak. Ku segerakan untuk memasukkan buku- buku dan alat tulis, bersiap untuk berdo’a sebelum pulang.
Hari pertama perjalanan menuju rumah baruku, ku tempuh dengan berjalan kaki. Kurang lebih 10 menit waktu yang ku butuhkan. Tiba ditengah perjalanan, ku melihat seorang perempuan yang sedang meratapi sebuah pohon. Dengan telapak tangan menyentuh kulit pohon dan menunjukkan ekspresi sedih dengan senyuman, ku rasa ia sedang mengenang sesuatu. Masa bodoh saat itu, dan ku lanjutkan perjalananku.
Keesokan harinya, seperti biasa ku menerima materi pelajaran dari guru- guruku hingga bel pulang sekolah terdengar. Sama seperti hari kemarin, ditengah perjalanan menuju rumahku. Ku melihat perempuan tersebut sedang meratapi kembali pohon yang ia lihat kemaren. Muncul sebuah pertanyaan dalam fikiranku, bahwasaannya apa yang ia rasakan?. Sejenak ku terhenti dari langkahku dan ku lanjutkan kembali dengan rasa penasaran dalam diri.
Hari ketiga perjalanan menuju rumah baruku. Ku masih melihat dia melakukan hal yang sama. Karena rasa penasaran yang tak terbendung, akhirnya ku dekati perempuan tersebut. Wajahnya tampak terlihat manis, bersih dan putih. “maaf, hmm.. kamu sedang ngelakuin apa?”,tanyaku. “menunggu kembali” jawabnya. Reflek matanya membuka lebar setelah ia menjawab pertanyaanku, mungkin ia terkejut. Mungkin secara tak sadar ia menjawab pertanyaanku tadi. “eh, kamu siapa?” tanyanya. “kamu ga sah takut! Hmm.. saya Fauri, temen-temen biasa manggil saya Uri. Saya baru pindah rumah di RT 02. Kalo boleh tau nama kamu siapa?” tanyaku. “aku Anisa” jawabnya. “Hmm.. kalo setiap pulang sekolah, saya sering ngeliat kamu disini sambil kamu ngeliatin pohon ini. Kayanya kamu lagi ngerasa sedih banget, kaya kehilangan sesorang? Maaf ya.. kalo saya ikut campur sama urusan kamu. Habisnya saya penasaran banget?” kataku. Dia menundukan sedikit pandangan & kepalanya suatu tanda benar ia sedang merasakan kesedihan. “hmm.. kalo kamu ga mau cerita juga ga pa pa, itu hak kamu ko. Yaudah saya pulang duluan ya? Oya, Jangan terlalu larut dalam kesedihan nis, ga ada guna buat kamu dan masa depan kamu, cukup jadikan sebuah kenangan aja. Dah ya nis..”. ku gerakan kakiku kembali menuju rumah. Masih dengan membawa rasa penasaran tentang dirinya dan kisahnya.
Hari keempat, dia masih melakukan hal yang sama. Saat itu, ku berniat untuk menyelidiki kisahnya dan mencoba mencabut duri hatinya. Tak kuasa hanya memandang, tak tega ku melihatnya. Kembali ku dekati perempuan tersebut. “Anisa!” sapa ku. “oh,, kamu, ada apa ri?”. “lagi apa nis?” tanyaku. “oh,, ga lagi ngapa- ngapain ri, baru pulang?”. “iya nis, hmm.. Anisa, boleh minta nomer hp kamu ga?” pintaku. “buat apa?” tanyanya. “ya.. sayakan baru disini, jadi saya belum tau daerah sekitar sini. Kalo butuh sesuatu atau ada apa- apa sekitar sini, saya mau nanyanya ke kamu. Soalnya baru kamu yang saya kenal disini.. sekalian mempererat silaturahmi.. hehehe”. Akhirnya ia pun memberikan nomer handphonenya.
Malam harinya, saya dan Anisa saling bertukar pesan melalui handphone. Berawal dari sebuah pertanyaan seputar daerah rumah baruku, hingga akhirnya ku ketahui kisahnya. Tersentuh hati saat ia menceritakan sebagian kisahnya. Ternyata selama 2 tahun, ia belum bisa menerima Riki meninggalkannya untuk selamanya. Perenggutan nyawa Riki terjadi karena sebuah kecelakaan yang menewaskannya. Riki adalah sahabatnya yang selalu ada untuknya. Dan pohon yang ia ratapi adalah semua kenangan tentangnya. Anisa menyayanginya, dan belum sempat rasa ini ia sampaikan padanya. Tak kuasa hanya berdiam diri, niat hati untuk mencabut duri hatinya semakin kuat. Akhirnya ku berikan beberapa motivasi untuknya.
Keesokan harinya, ternyata ia masih melakukan hal yang sama. Mungkin motivasi yang kuberikan kurang berpengaruh padanya. Ku dekati kembali dirinya. “Anisa? Kamu masih..” belum sempat ku teruskan, dia sudah memotong. “ya, ku masih memikirkannya.”. “Pohon ini..” belum sempat ku teruskan kembali, dia sudah memotong, “ya.. disini tempat kami bermain, biasa makan berdua membawa makanan dari rumah masing-masing, berpura- pura berkeluarga, terkadang belajar bareng, terkadang saling ejek, terkadang nangis bareng, sering ngejailin orang.. kamu liat ini? (ditunjukannya ukiran lambang cinta dengan namanya dan nama sahabatnya) ini salah satu saksi bisu, kami yang membuatnya. Awalnya hanya sekedar iseng untuk canda dan tawa, tapi kini menjadi suatu rasa yang nyata untuku , kami biasa bermain disini. Canda, tawa, seolah- olah tak ada duka. Hingga dia meninggalkanku untuk selamanya. Tempat ini hanyalah sebuah kenangan”. Ketika ia mengatakan hal tersebut, ku tahu dibalik senyumannya adalah bendung tangis air matanya. Kembali ikut terlarut dalam kesedihan, tak bisa berkata banyak. Yang ku katakan saat itu hanyalah “jangan terlalu larut dalam kesedihan!” dan meninggalkannya, karena mungkin ku akan menangis jika terlalu lama disana.
Mencoba mencari jalan keluar, terlintas dalam fikranku untuk bertemu dengan Riki lewat alam mimpi. Sebelumnya, belum pernah kuhadirkan seseorang yang belum pernah ku lihat sebelumnya secara langsung. Aku bisa menghadirkan seseorang dalam mimpiku yang sudah pernah kulihat secara langsung dan aku dapat bebas memimpikan siapapun. Itu yang membuatku berfikir aku bisa menghadirkan Riki dalam mimpiku. Akhirnya kucoba meningkatkan ilmu kebathinan yang kumiliki untuk ketercapaian keinginanku. Biasa ku lakukan kurang lebih 45menit pada malam hari, kini kurang lebih 90menit. Ku lakukan pada pukul 00.00- 01.30 WIB hingga hajatku tercapai.
Hari demi hari ku lewati. Dan aku belum bertemu dengan Riki. Banyak yang ingin ku sampaikan padanya mengenai Anisa. Ku belum pernah melihatnya tersenyum dari hati yang tersenyum. Senyum bibirnya masih menjadi penutup duka hatinya. Jika saja dia tidak seperti ini, aku pun tidak akan melakukan hal yang seperti ini. Kini, tersenyumnya hatimu adalah keberhasilanku. Hingga suatu saat Anisa masuk rumah sakit, dari yang ku dengar. Dia mencoba melakukan praktek bunuh diri. Beruntung dia berhasil diselamatkan. Pantas saat itu Tidak seperti biasa yang kulihat. Dia tidak ada ditempat dimana ia biasa meratapi pohon tersebut. Sungguh kekecewaan yang mendalam jika ia berhasil melakukan praktek bunuh diri.
Hingga pada malam kesebelas, setelah ku melakukan suatu peningkatan ilmu kebathinan. Dalam mimpiku, Ku berada disebuah tempat yang luas hingga seseorang melangkah kearahku. Kulihat dia seorang anak laki- laki yang sepertinya sepantar denganku. Dia tersenyum padaku, wajahnya cerah & dia mendekatiku. Saat itu aku tak bisa berkata apapun. “sampaikan padanya, jangan bersedih untuku! Ku merasakan kesediahan ketika kamu sedih, ku ingin kamu bahagia. Aku damai jika kamu bahagia. Kamu tau akan sesuatu? Sungguh ketika kamu berteriak dalam tangismu karenaku, ku merasa siksa. Teriakan tangismu adalah pecutan yang kuterima dan itu tidak akan berhenti hingga kamu berhenti menangis. sungguh saat itu sakit yang kurasa. Jangan berfikir untuk mengakhiri semua ini, ku tak ingin kamu sengsara disini. Kuatkan iman mu, perbanyak amal ibadahmu! Aku juga sayang kamu”. Lalu dia menunjukan sebuah daun yang telah terbelah secara vertikal. Setelah ia menunjukan daun tersebut, langsung kuterbangun dari mimpi.
Siang harinya, setelah bel pulang sekolah terdengar. Bergegas ku menemui Anisa. Dia kembali berada ditempat yang dimana ia biasa meratapi sebuah pohon yang memiliki kenangan- kenangan indah bersama Riki. “Anisa” sapaku. Kumendekatinya, “tadi malam ku bermimpi seorang anak laki- laki, dia menunjukan sebuah daun yang telah terbelah secara vertikal. Ku rasa itu ada hubungannya dengan kamu?”. Setelah ku katakan itu dia terkejut, “Benarkah? Apa yang ia katakan?” tanyanya. Akhirnya ku ceritakan semuanya. Setelah kuceritakan semuanya, dia hanya terdiam dan perlahan air matanya membasahi pipi. “dia Riki, setiap hari dia sering memetik satu daun dan membelahnya menjadi setengah. Lalu dia memberikannya padaku. Itu kebiasaannya, entah apa maksudnya? Maafkan aku (masih menangis)”. “mungkin jika saya benar, daun yang ia belah masih berwarna hijaukan? Mungkin itu melambangkan kesejukan, kedamaian. Coba lihat diatas, dedaunan melindungimu dari panas. Bukankah itu menyejukanmu/ Dan setengah daun yang kamu terima, itu adalah sesuatu yang ia bagi. Dia ingin kebahagiaan bersama.” Kataku. Dia menghapus air matanya, ia tersenyum, dan senyumannya belum pernah ku lihat sebelumya. Sepertinya senyuman ini yang ingin ku lihat. “hmm.. Anisa, saya kasih tau kamu akan sesuatu. Kamu ga bisa yang namanya mempercepat kematian atau menunda kematian, jikalaupun kamu berhasil melakukan bunuh diri. Hanyalah pelepasan raga dan ruh kamu. Jadi ruh kamu tetep masih didunia, sampai saatnya tiba saatnya kamu meninggal. Itulah sesunggunya ruh kamu kelangit. Bunuh diri, itu hanya memperparah keadaan kamu. Yang menggenggam jiwa bukan kamu, tapi Yang Maha Kuasalah yang menggenggam jiwamu”.
Semenjak kejadian itu, semuanya berubah menjadi lebih baik. Ku mulai semangat menjalani hidup, mencari jalan keluar setiap ku temukan permasalahan. Dan Anisa kini tidak lagi meratapi sebuah pohon dengan kesedihan. Dia lebih sering telihat ceria bersama orang- orang yang ia kenal. Kini tidak hanya wajahnya yang manis, bersih, dan putih. Tapi jiwa yang terang mengubah kehidupannya menjadi jauh lebih baik. Inilah keberhasilanku. Karena prinsipku “selama jantungku masih berdetak, ku percaya di dunia ini tidak ada yang tak mungkin”.

No comments:

Sebarkan untuk dunia yang lebih baik